oleh Lina Nurdiana pada 27 Agustus 2010 jam 13:38
Sunat Pere,puan dalam Kaidah Agama dan Kepercayaan
Sunat perempuan, kaitannya dengan religi, seperti yang dikemukakan oleh Dr. Hamim Ilyas, (aktivis keadilan perempuan sekaligus dosen di Fakultas Syari’ah UIN, Jogja), bahwa tradisi menyunat wanita ada sebelum Islam datang di Mesir dan Jazirah Arab, entah mulai kapan berawal, namun ini sudah berlangsung di kalangan umat yahudi dan Kristen.
Sunat perempuan dan Islam
Sebenarnya dalam Islam sendiri masalah sunat perempuan masih menjadi perdebatan hingga saat ini walaupun belum dapat ditemukan sumber-sumber Islam otoratif baik Al-Qur'an dan Hadist Nabi yang menyebutkan tentang hukum khitan perempuan secara eksplisit dan tegas.
Perdebatan-perdebatan tentang hukumnya khitan perempuan dalam Islam selalu bermuara pada masalah text. Banyak dari mereka yang menjadikan text sebagai sebuah dasar untuk memutuskan banyak hal, sayangnya untuk beberapa hal fakta-fakta dan bukti empiris yang berkaitan erat tentang sebuah “hukum” itu sering dikesampingkan. Sayangnya pula dalam menafsirkan text-text tersebut banyak kalangan yang mengartikan secara tekstualis-skriptualis saja, aspek sosio cultural-historis tak diindahkan, seolah-olah lupa bahwa dijaman dulu juga ada manusia dengan ke-khas-an manusianya. (hehehe :P)
Menurut Husein Muhammad, khitan adalah “sunnah qadimah” (tradisi kuno) (2009). Ya, seperti yang saya uraikan di catatan saya sebelumnya (“Ulasan pendek Sejarah FGM”), bahwa tradisi mengkhitan perempuan sudah ada sebelum agama Islam muncul di Mesir dan Arab. Praktek tersebut sudah lazim dilakukan di kalangan masyarakat Mesir dan sekitar sungai Nil.
Bisa dipahami kenapa tradisi ini pun lalu dapat tersebar di Islam, karena setahu saya jauh sebelum Islam ada, sudah ada kaum Yahudi dan Kristen yang tinggal di Arab begitu lama dan hidup berdampingan, sehingga ada proses asimilasi budaya antar ketiganya di sana, terlebih lagi oleh masyarakat Arab pada waktu itu posisi para Ahl al-Kitab (ahli kitab) dihormati dan sering dijadikan acuan petuahnya karena dianggap sebagai kaum 'terpelajar'.
Ya bisa dikatakan, selain mengubur bayi perempuan hidup-hidup, memukuli selir atau istri,,menyunat wanita adalah hal lain yang biasa dilakukan sebagian kelompok patriarki jaman dulu di waktu senggang mereka. (mudah-mudahan tidak sambil minum teh).
Khitan perempuan
Sebenarnya dalam islam ada nama lain untuk menyebut khitan perempuan, karena seperti yang saya kutip dalam esai Husein Muhammad, bahwa dalam terminologi ahli fiqh Islam, khitan adalah memotong kulit yang menutup kepala penis (hasyafah) untuk laki-laki dan memotong bagian ujung klitoris perempuan. Dalam fiqh sendiri sebenarnya ada sebutan untuk istilah khitan pada perempuan yaitu “khafdh” atau “khifadh” yang merupakan kata asli (hakikat) untuk khitan perempuan, karena penyebutan kata “khitan” merujuk pada laki-laki.
Dalam esainya yang bertajuk “Khitan Perempuan: Untuk apa?” Husein Muhammad menguraikan bahwa istilah “khifadh” ini penting untuk dibahas guna memperlihatkan makna yang berbeda dari apa yang sering ditafsir dan dibayangkan orang-orang.
Oke, walaupun saya bukan termasuk makhluk pengurai,,namun kali ini saya akan berusaha menjadi cewek pengurai yang baik dan benar…saya bantu jelaskan makna definitive dari “khifadh” hehehe…
Khifad memiliki arti literal yaitu mengurangi (to reduce), menyederhanakan (minimize), mengambil sedikit dan pelan. Dengan menjelaskan makna definitif dari khifadh, Hussein Muhammad jelas ingin menunjukkan bahwa khifadh memiliki makna yang berbeda dengan clitoridektomi, genital mutilation atau genital circumcision yang lebih merujuk ke aksi pemotongan alat vital.
Metode Pendekataan Gradual
Mengapa demikian?
Dari sini….dapat dikatakan bahwa pada zaman nabi Muhammad dulu, ketika beliau ingin merubah watak dan kebiasaaan kaum jahiliyah yang buruk, beliau biasa menggunakan pendekataan gradual, yaitu metode pendekatan dengan merubah kebiasaan buruk itu sedikit demi sedikit, tidak langsung frontal, karena beliau tahu itu pasti susah, menimbulkan konflik, dan bisa mengganggu jalannya misi utama beliau yaitu Tauhid.
Metode pendekataan gradual ini dapat terlihat dari bagaimana cara Nabi Muhammad mencoba untuk mengurangi dan meminimalisir praktik poligami di kalangan bangsa Arab pada masa dulu. Dari yang awalnya seorang pria dapat menikah dengan puluhan bahkan ratusan wanita, bahkan ada yang dinikahi sehari-dua hari lalu di tinggal begitu saja tanpa kejelasan, dipersempit menjadi 4 istri saja olehnya, tentunya pada waktu itu hal ini dianggap sebuah terobosan besar dan memicu konflik di kalangan Bangsa Arab yang terkenal memiliki banyak selir dan istri, namun tentu untuk sebagian besar masyarakat saat ini hal itu dianggap tak adil dan tak lagi relevan, karena pernikahan yang dianggap ideal adalah monogamy oleh sebagian besar kalangan saat ini.
Kembali ke masalah khifadh. Pemaknaan khifadh ini penting saya jelaskan karena dari makna kata ini terlihat unsur jejak “kritik” atau usaha Islam sendiri untuk memberikan perbaikan pada praktik budaya khifadh yang saat itu berlangsung secara berlebihan (clitoridektomi, atau infibulasi) menjadi praktik khifadh yang lebih ringan dan halus. Namun masih saja, dalam masalah seputar pengertian ini pun masih menimbulkan kontroversi di kalangan ahli fiqh.
Kontroversi Fiqh
Husein Muhammad mengungkapkan bahwa secara ringkas ada tiga pendapat di sekitar hukum khifadh. Dr. Wahbah al Zuhaili, faqih kontemporer terkemuka dari Siria, dengan merujuk sejumlah referensi klasik, atau Kitab Kuning, meringkas tiga pandangan tersebut :
Khitan laki-laki menurut pandangan mayoritas mazhab Hanafi dan Maliki adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan), dan khifadh adalah suatu kehormatan, yakni menggores sedikit kulit bagian atas pada vagina perempuan dan disunnahkan tidak berlebihan, agar tetap merasakan kenikmatan hubungan seksualnya. Imam Syafi’i dan mayoritas pengikutnya berpendapat wajib, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Sementara Imam Ahmad, berpendapat khitan adalah wajib bagi laki-laki dan suatu kehormatan bagi perempuan. (2004: 107)
Sedangkan menurut Ibnu Hajar al Asqallani, hukum khifadh dalam mazhab Syafi’i tidak diikuti secara bulat, ada sebagian ulama yang beranggapan bahwa khifadh ini tidaklah wajib, malahan juga tidak sunnah. Itu hanya sebuah “kehormatan” belaka (makrumah). Makrumah adalah istilah yang tidak lazim dalam kategori hukum yang diperkenalkan para ahli hukum . Sehingga sebagian ulama mengidentikkannya dengan sunnah atau mustahab (disukai), ada pula yang memasukkannya ke kategori mubah (boleh).
Hehehe hal ini mengingatkan saya kepada ulama favorit saya, yaitu Dr. Yusuf Al Qardhawi, mari kita lihat, apa pendapat beliau tentang Makrumah khifadh ini :
"Yang dimaksud 'makrumah' (kehormatan bagi perempuan) adalah bahwa ia merupakan sesuatu (praktik) yang dianggap baik menurut tradisi masyarakat. Sungguh, tidak terdapat teks agama, yang mewajibkan maupun yang menganjurkan (men-sunnah-kan). Ini merupakan perkara yang bisa berubah-ubah. Tradisi yang dipandang terhormat dalam suatu masa atau suatu tempat, tidak selalu terhormat untuk masa atau tempat yang lain. Oleh karena itu, kita dapat melihat (memahami) sejumlah wilayah kaum muslim tidak mengkhitankan kaum perempuannya, seperti negara-negara di Teluk Arabia dan semua negara bagian utara Afrika." (www.qaradhawi.net)
Dari pernyataan Syekh al Qardhawi di atas, dapat diartikan dengan jelas bahwa khifadh itu bukanlah bagian dari syariat atau keputusan agama, namun lebih kepada keputusan tradisi, adat istiadat atau budaya. Hal ini berarti khifadh berlaku kondisional dan kontekstual, bukan praktik tetap atau yang harus dilestarikan sepanjang jaman.
Ini jelas mengingatkan saya kepada ulama Rasyid Ridho (2004 : 25) “hukum diundangkan demi memenuhi kepentingan manusia, sementara kepentingan manusia itu dapat berbeda karena perbedaan tempat dan waktu”. Hal senada diucapkan oleh pemikir Islam abad 18, Syah Waliyullah bahwa syariat di susun untuk selalu disesuaikan dengan kecenderungan masyarakat dan kebutuhan pada masanya.
Dari sejumlah hadist yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan khifadh, ada dua yang secara eksplisit menyebut tentang khifadh, yaitu hadist dari Ummi ‘Athiyyah al Anshariyah :
”bahwa ada seorang perempuan juru khitan para perempuan di Madinah. Nabi Saw mengatakan kepadanya: "Jangan berlebihan, karena ia (bagian yang dipotong) menyenangkan bagi perempuan (isteri) dan paling disukai suami. Pada riwayat lain Nabi Saw mengatakan : "potong ujungnya saja dan jangan berlebihan, karena ia sangat menyenangkan dan bagian yang disukai suami".(HR. Abu Daud).
Selain diriwayatkan oleh Abu Daud, hadist ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam al Baihaqi. . Ahli Hadits terkemuka Zain al Din al Iraqi dalam catatan kaki atas Ihya Ulum al Din, karya Imam al Ghazali, menyatakan bahwa semua perawi hadits ini lemah (dha’if). Abu Daud sendiri menilai hadits ini “laisa bi al qawiy” (tidak kuat, lemah), sebab Muhammad bin Hassan, salah seorang perawi hadits “majhul” (tidak dikenal).
Hadist kedua disampaikan oleh Abu Hurairah: “Nabi berkata: Khitan adalah sunah bagi laki-laki dan suatu kehormatan bagi perempuan.” Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Baihaqi.
Imam al Syaukani (w. 1255 H) menyatakan hadits ini dha’if (lemah, tidak valid), karena Hajjaj bin Artha’ah, perawinya, seorang mudallas, yakni sering mengelirukan riwayat hadits. Para ahli hadits dan ahli fiqh mengatakan hadits yang disampaikan seorang mudallas tidak dapat diterima sama sekali (la tuqbal riwayatuhu bi Haal). Yakni tidak dapat dijadikan argument hukum.
Ibnu Mundzir menyampaikan kata pamungkas bahwa: "tidak ada satupun hadits yang bisa dijadikan rujukan untuk menjustifikasi khitan dan tidak ada satupun sanad hadits
nya yang bisa diikuti". Penilaian yang sama juga dikemukakan Sayed Sabiq : "Semua hadits yang berkaitan dengan khitan perempuan adalah lemah, tidak ada satupun yang sahih"
Dewasa ini pendapat Ibnu Mundzir dan Sayed Sabiq tersebut didukung dan disuarakan oleh sejumlah ulama terkemuka, antara lain Muhammad Sayed Thantawi, Grand Syekh Universitas Al Azhar, Kairo; Dr. Ali Gom’ah, Ketua Dewan Fatwa Mesir; Syeikh Yusuf al Qaradhawi, Ketua Ulama Islam Internasional dan lain-lain.
Oke, sampai disini teman, dapat saya katakan bahwa “kewajiban” melakukan khifadh atau “penyunatan” terhadap organ vital perempuan tidak ada dalam Islam, teks-teks yang bermunculan tak cukup kuat untuk memperkuat hukum khifadh sebagai suatu kewajiban.
Hukum, aturan , syariat, pada hakikatnya bukankah hukum itu ada untuk kepentingan dan menimbulkan manfaat bagi kita, bagaimana sebuah hukum itu dapat berdiri dan diakui bila tak mengindahkan aspek keadilan, fakta empiris dan suara korban yang dalam hal ini suara perempuan,,,haruskah hukum itu ditegakkan dan dipukul rata untuk semua kalangan? Saya rasa dalam hal ini mendengar suara perempuan adalah hal yang penting karena dalam hal ini mereka obyek dari praktik “hukum” ini.
Dalam telaah esainya, Husein Muhammad, mengungkapkan bahwa pernyataan Nabi ; “makarumah li al Nisa” (kehormatan bagi perempuan), juga merupakan bahasa budaya, bukan bahasa hukum (kembali saya ingatkan, ini akan bermuara lagi pada soal intepretasi text).
Ucapan Nabi Saw: ”fa innahu ahzha li al mar’ah wa ahabb li al ba’l”, memperlihatkan bahwa clitoris adalah organ yang membahagiakan perempuan dan menyenangkan laki-laki (suami). Identik dengan makna kalimat ini adalah ”fa innahu anwar li al wajh wa ahzha ’ind al Rajul”. Yakni bahwa clitoris adalah bagian tubuh yang membuat wajah perempuan berseri-seri, kalimat yang menunjukkan kenikmatan, dan menyenangkan laki-laki/suami. Dari sini Hussein Muhammad sendiri memiliki tafsiran bahwa Nabi sebenarnya sedang mengingatkan masyarakat bahwa clitoris perempuan adalah bagian tubuhnya yang amat berharga, karena ia memberikan kenikmatan seksual bagi kedua pihak, laki-laki (suami) dan perempuan (isteri). Seharusnya lanjut dia, bahasa persuasi Nabi yang indah tersebut dapat dipahami sebaik-baiknya, dengan membiarkan bagian tubuh perempuan yang menjadi sumber kenikmatan kedua jenis kelamin tersebut tumbuh apa adanya, tanpa dipotong atau digores oleh benda tajam apapun. Dengan begitu relasi laki-laki dan perempuan/suami-istri akan menjadi indah.
Tafsiran Husein Muhammad ini sekilas mengingatkan saya akan istilah Nasr Hamid Abu Zaid, yang menyatakan bahwa text atau ayat itu lebih merupakan media bahasa (al-syifrah al lughawiyyah) untuk mengkomunikasikan ide atau gagasan antara Tuhan dengan manusia atau realitas pada waktu itu, sedangkan bahasa sebagai “bungkus” gagasan tersebut penuh keterbatasan, sehingga alangkah baiknya menurut saya jika menafsirkan text tak hanya secara literal atau textualis-skriptualis, namun bisa dipakai pendekatan yang lebih konteksual, atau memakai metode tafsir tematik-holistik yang diperkenalkan oleh Amina Wadud yaitu metode pendekatan hermeneutik yang melihat secara kritis hubungan 3 aspek :
1) Dalam kontex apa ayat itu ditulis. Jika kaitannya dengan Al-Qur’an, maka dalam kontex apakah ayat tersebut diturunkan
2) Bagaimana kompisisi tata bahasa (ayat) tersebut, bagaimana pengungkapannya, apa yang dikatakannya
3) Bagaimana keselurahan text (ayat) tersebut.
Pembahasan mengenai tafsir text ini sendiri tidak bisa berakhir dengan keputusan bulat, mengingat saling mengklaim tafsiran mana yang paling benar itu ada dan memunculkan peluang untuk ditafsirkan lagi.
Begini, dalam dunia patriarki, wanita selalu dikondisikan dan diposisikan sebagai makhluk nomor dua, inferior dan pasif. Patriarki mengingikan, wanita ada di bawah kendali kuasanya hampir disegala hal. Dalam konteks khifadh ini tentu saja yang disinggung adalah masalah seksualitas. Klitoris adalah bagian dari reproduksi yang memiliki daya sensitifitas seksual tinggi yang melahirkan hasrat-hasrat libido yang kuat. Perempuan mampu mencapai pengalaman orgasme yang tak habis-habisnya”, melalui erotisisme klitoral. Karena itu pembiaran organ ini tetap ada atau menonjol, bisa ”membahayakan” laki-laki. Dan laki-laki dalam tradisi patriarkhis tak boleh dikalahkan perempuan, karena akan berakibat fatal bagi perempuan sendiri. Maka dalam pandangan tradisi patriarki adalah kehormatan bagi perempuan untuk memotong klitorisnya agar tidak bisa mengalahkan laki-laki/suami, meski harus mengalami pelukaan atas bagian tubuh yang penting itu sekaligus juga kedukaan psikologis. Jadi kata ”makrumah” merupakan bahasa persuasif dan akomodatif Nabi terhadap budaya yang sedang berlangsung itu, tetapi dalam waktu yang sama juga mereduksinya.
UNICEF mengungkapkan bahwa sesuai dari penelitian yang dilakukan oleh para petinggi Al-Azhar bahwa praktik FGM ini tidak memiliki dasar petunjuk yang kuat dalam agama Islam, yang berarti Islam pun sebenarnya tak menganjurkan dilakukannya FGM, praktik ini harus di larang. Sedangkan menurut Coptic Poep Shenouda, pemimpin Komunitas Kristen di Mesir mengemukakan bahwa beliau tidak menemukan bukti-bukti pendukung yang kuat baik dalam Al-Qur’an atau Injil, yang menganjurkan praktik sunat pada wanita.Tidak ada.
Disini saya rasa praktek FGM tak merunut pada satu atau beberapa agama tertentu, namun lebih mrupakan fenomena lintas budaya. Bahwa ini kemudian menjadi identik dengan Islam di Indonesia, simple saja menurut saya, karena mayoritas penduduk Indonesia memeluk Islam.
Oke, sist, apalah artinya dipotong klitoris, labia minora atau bahkan dijahit semua tuh alat vital kita dan menyisakan celah sedikit untuk pembuangan, toh dalam sejarahnya kita terbiasa dengan rasa sakit secara fisik…pengalaman datang bulan pertama kali, lalu masa-masa PMS, berhubungan suami istri pertama kali, hamil dan melahirkan,,,, di masa jahiliyah kita juga dikubur hidup2, pada awal abad ke-10 Masehi kaki saudari-saudari kita di China juga diikat sedemikian rupa hingga bentuknya kecil aneh demi menyengkan kaum pria di sana, pada abad ke 17 diperbudak di Amerika, so why it must stop? Why..? go on..
Daftar Pustaka
1) Muhammad, Hussein. Khitan Perempuan: Untuk Apa?. 2009.
2) Mustaqim, Abdul. Tafsir Feminis Versus Tafsir Patriarki. 2003. Sabda Perkasa: Yogyakarta.
3) Abdullah, Zulkarnaini. Mengapa Harus Perempuan?. 2003. Ar-Ruzz: Yogyakarta.
4) Kemuliaan Yang Membahayakan. 2006. Available from URL : http://www.detiknews.com/read/2006/09/28/095541/683998/159/kemuliaan-yang-
5) Eliminating Female Genital Mutilation - An interagency statement OHCHR, UNAIDS, UNDP, UNECA, UNESCO, UNFPA, UNHCR, UNICEF, UNIFEM, WHO. Department of Reproductive Health and Research (RHR), World Health Organization. 2008.
6) Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Dar al Fikr al Mu’ashir, Beirut, cet. IV, 2004, h. 2751-2752. Baca: Ibnu Qudamah, Al Mughni, Dar al Hadits, Kairo, 2004, Vol. I, h. 107. Al Nawawi, Syarh Majmu’,
7) Ibnu Hajar Al Asqallani, Fath al Bari, Dar al Fikr, Beirut, 1933, Juz XI, h. 531. Baca juga; Aun al Ma’bud, IV, h.123-124.
8) Yusuf al Qaradhawi, www. Qaradawi.net/
9) Zain al Din al Iraqi, Al Mughni ‘an Haml al Asfar, Dar al Ma’rifah, Beirut, 1982, Juz I, h. 142.
10) Prisoner of Ritual : Some contemporary Developments In The history of Female Genital Mutilation. 1991. Available from URL : http://www.fgmnetwork.org/Lightfoot-klein/prisonersofritual.htm
11) Female Circumcicion in Egypt. 2010. Available from URL : http://cultural-anthropology.suite101.com/article.cfm/female-circumcision-in-egypt
12) Sunat Pada Wanita, Perlukah?. 2010. Available from URL : http://www.kalbar.us/showthread.php?4289-Sunat-Pada-Wanita-Perlukah
13) Qardlawi, Yusuf dkk. Ketika Wanita Menggugat Islam. 2004. Teras: Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar