Minggu, 24 Oktober 2010
Sunat Perempuan dalam kaidah Agama dan Kepercayaan
Sunat Pere,puan dalam Kaidah Agama dan Kepercayaan
Sunat perempuan, kaitannya dengan religi, seperti yang dikemukakan oleh Dr. Hamim Ilyas, (aktivis keadilan perempuan sekaligus dosen di Fakultas Syari’ah UIN, Jogja), bahwa tradisi menyunat wanita ada sebelum Islam datang di Mesir dan Jazirah Arab, entah mulai kapan berawal, namun ini sudah berlangsung di kalangan umat yahudi dan Kristen.
Sunat perempuan dan Islam
Sebenarnya dalam Islam sendiri masalah sunat perempuan masih menjadi perdebatan hingga saat ini walaupun belum dapat ditemukan sumber-sumber Islam otoratif baik Al-Qur'an dan Hadist Nabi yang menyebutkan tentang hukum khitan perempuan secara eksplisit dan tegas.
Perdebatan-perdebatan tentang hukumnya khitan perempuan dalam Islam selalu bermuara pada masalah text. Banyak dari mereka yang menjadikan text sebagai sebuah dasar untuk memutuskan banyak hal, sayangnya untuk beberapa hal fakta-fakta dan bukti empiris yang berkaitan erat tentang sebuah “hukum” itu sering dikesampingkan. Sayangnya pula dalam menafsirkan text-text tersebut banyak kalangan yang mengartikan secara tekstualis-skriptualis saja, aspek sosio cultural-historis tak diindahkan, seolah-olah lupa bahwa dijaman dulu juga ada manusia dengan ke-khas-an manusianya. (hehehe :P)
Menurut Husein Muhammad, khitan adalah “sunnah qadimah” (tradisi kuno) (2009). Ya, seperti yang saya uraikan di catatan saya sebelumnya (“Ulasan pendek Sejarah FGM”), bahwa tradisi mengkhitan perempuan sudah ada sebelum agama Islam muncul di Mesir dan Arab. Praktek tersebut sudah lazim dilakukan di kalangan masyarakat Mesir dan sekitar sungai Nil.
Bisa dipahami kenapa tradisi ini pun lalu dapat tersebar di Islam, karena setahu saya jauh sebelum Islam ada, sudah ada kaum Yahudi dan Kristen yang tinggal di Arab begitu lama dan hidup berdampingan, sehingga ada proses asimilasi budaya antar ketiganya di sana, terlebih lagi oleh masyarakat Arab pada waktu itu posisi para Ahl al-Kitab (ahli kitab) dihormati dan sering dijadikan acuan petuahnya karena dianggap sebagai kaum 'terpelajar'.
Ya bisa dikatakan, selain mengubur bayi perempuan hidup-hidup, memukuli selir atau istri,,menyunat wanita adalah hal lain yang biasa dilakukan sebagian kelompok patriarki jaman dulu di waktu senggang mereka. (mudah-mudahan tidak sambil minum teh).
Khitan perempuan
Sebenarnya dalam islam ada nama lain untuk menyebut khitan perempuan, karena seperti yang saya kutip dalam esai Husein Muhammad, bahwa dalam terminologi ahli fiqh Islam, khitan adalah memotong kulit yang menutup kepala penis (hasyafah) untuk laki-laki dan memotong bagian ujung klitoris perempuan. Dalam fiqh sendiri sebenarnya ada sebutan untuk istilah khitan pada perempuan yaitu “khafdh” atau “khifadh” yang merupakan kata asli (hakikat) untuk khitan perempuan, karena penyebutan kata “khitan” merujuk pada laki-laki.
Dalam esainya yang bertajuk “Khitan Perempuan: Untuk apa?” Husein Muhammad menguraikan bahwa istilah “khifadh” ini penting untuk dibahas guna memperlihatkan makna yang berbeda dari apa yang sering ditafsir dan dibayangkan orang-orang.
Oke, walaupun saya bukan termasuk makhluk pengurai,,namun kali ini saya akan berusaha menjadi cewek pengurai yang baik dan benar…saya bantu jelaskan makna definitive dari “khifadh” hehehe…
Khifad memiliki arti literal yaitu mengurangi (to reduce), menyederhanakan (minimize), mengambil sedikit dan pelan. Dengan menjelaskan makna definitif dari khifadh, Hussein Muhammad jelas ingin menunjukkan bahwa khifadh memiliki makna yang berbeda dengan clitoridektomi, genital mutilation atau genital circumcision yang lebih merujuk ke aksi pemotongan alat vital.
Metode Pendekataan Gradual
Mengapa demikian?
Dari sini….dapat dikatakan bahwa pada zaman nabi Muhammad dulu, ketika beliau ingin merubah watak dan kebiasaaan kaum jahiliyah yang buruk, beliau biasa menggunakan pendekataan gradual, yaitu metode pendekatan dengan merubah kebiasaan buruk itu sedikit demi sedikit, tidak langsung frontal, karena beliau tahu itu pasti susah, menimbulkan konflik, dan bisa mengganggu jalannya misi utama beliau yaitu Tauhid.
Metode pendekataan gradual ini dapat terlihat dari bagaimana cara Nabi Muhammad mencoba untuk mengurangi dan meminimalisir praktik poligami di kalangan bangsa Arab pada masa dulu. Dari yang awalnya seorang pria dapat menikah dengan puluhan bahkan ratusan wanita, bahkan ada yang dinikahi sehari-dua hari lalu di tinggal begitu saja tanpa kejelasan, dipersempit menjadi 4 istri saja olehnya, tentunya pada waktu itu hal ini dianggap sebuah terobosan besar dan memicu konflik di kalangan Bangsa Arab yang terkenal memiliki banyak selir dan istri, namun tentu untuk sebagian besar masyarakat saat ini hal itu dianggap tak adil dan tak lagi relevan, karena pernikahan yang dianggap ideal adalah monogamy oleh sebagian besar kalangan saat ini.
Kembali ke masalah khifadh. Pemaknaan khifadh ini penting saya jelaskan karena dari makna kata ini terlihat unsur jejak “kritik” atau usaha Islam sendiri untuk memberikan perbaikan pada praktik budaya khifadh yang saat itu berlangsung secara berlebihan (clitoridektomi, atau infibulasi) menjadi praktik khifadh yang lebih ringan dan halus. Namun masih saja, dalam masalah seputar pengertian ini pun masih menimbulkan kontroversi di kalangan ahli fiqh.
Kontroversi Fiqh
Husein Muhammad mengungkapkan bahwa secara ringkas ada tiga pendapat di sekitar hukum khifadh. Dr. Wahbah al Zuhaili, faqih kontemporer terkemuka dari Siria, dengan merujuk sejumlah referensi klasik, atau Kitab Kuning, meringkas tiga pandangan tersebut :
Khitan laki-laki menurut pandangan mayoritas mazhab Hanafi dan Maliki adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan), dan khifadh adalah suatu kehormatan, yakni menggores sedikit kulit bagian atas pada vagina perempuan dan disunnahkan tidak berlebihan, agar tetap merasakan kenikmatan hubungan seksualnya. Imam Syafi’i dan mayoritas pengikutnya berpendapat wajib, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Sementara Imam Ahmad, berpendapat khitan adalah wajib bagi laki-laki dan suatu kehormatan bagi perempuan. (2004: 107)
Sedangkan menurut Ibnu Hajar al Asqallani, hukum khifadh dalam mazhab Syafi’i tidak diikuti secara bulat, ada sebagian ulama yang beranggapan bahwa khifadh ini tidaklah wajib, malahan juga tidak sunnah. Itu hanya sebuah “kehormatan” belaka (makrumah). Makrumah adalah istilah yang tidak lazim dalam kategori hukum yang diperkenalkan para ahli hukum . Sehingga sebagian ulama mengidentikkannya dengan sunnah atau mustahab (disukai), ada pula yang memasukkannya ke kategori mubah (boleh).
Hehehe hal ini mengingatkan saya kepada ulama favorit saya, yaitu Dr. Yusuf Al Qardhawi, mari kita lihat, apa pendapat beliau tentang Makrumah khifadh ini :
"Yang dimaksud 'makrumah' (kehormatan bagi perempuan) adalah bahwa ia merupakan sesuatu (praktik) yang dianggap baik menurut tradisi masyarakat. Sungguh, tidak terdapat teks agama, yang mewajibkan maupun yang menganjurkan (men-sunnah-kan). Ini merupakan perkara yang bisa berubah-ubah. Tradisi yang dipandang terhormat dalam suatu masa atau suatu tempat, tidak selalu terhormat untuk masa atau tempat yang lain. Oleh karena itu, kita dapat melihat (memahami) sejumlah wilayah kaum muslim tidak mengkhitankan kaum perempuannya, seperti negara-negara di Teluk Arabia dan semua negara bagian utara Afrika." (www.qaradhawi.net)
Dari pernyataan Syekh al Qardhawi di atas, dapat diartikan dengan jelas bahwa khifadh itu bukanlah bagian dari syariat atau keputusan agama, namun lebih kepada keputusan tradisi, adat istiadat atau budaya. Hal ini berarti khifadh berlaku kondisional dan kontekstual, bukan praktik tetap atau yang harus dilestarikan sepanjang jaman.
Ini jelas mengingatkan saya kepada ulama Rasyid Ridho (2004 : 25) “hukum diundangkan demi memenuhi kepentingan manusia, sementara kepentingan manusia itu dapat berbeda karena perbedaan tempat dan waktu”. Hal senada diucapkan oleh pemikir Islam abad 18, Syah Waliyullah bahwa syariat di susun untuk selalu disesuaikan dengan kecenderungan masyarakat dan kebutuhan pada masanya.
Dari sejumlah hadist yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan khifadh, ada dua yang secara eksplisit menyebut tentang khifadh, yaitu hadist dari Ummi ‘Athiyyah al Anshariyah :
”bahwa ada seorang perempuan juru khitan para perempuan di Madinah. Nabi Saw mengatakan kepadanya: "Jangan berlebihan, karena ia (bagian yang dipotong) menyenangkan bagi perempuan (isteri) dan paling disukai suami. Pada riwayat lain Nabi Saw mengatakan : "potong ujungnya saja dan jangan berlebihan, karena ia sangat menyenangkan dan bagian yang disukai suami".(HR. Abu Daud).
Selain diriwayatkan oleh Abu Daud, hadist ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam al Baihaqi. . Ahli Hadits terkemuka Zain al Din al Iraqi dalam catatan kaki atas Ihya Ulum al Din, karya Imam al Ghazali, menyatakan bahwa semua perawi hadits ini lemah (dha’if). Abu Daud sendiri menilai hadits ini “laisa bi al qawiy” (tidak kuat, lemah), sebab Muhammad bin Hassan, salah seorang perawi hadits “majhul” (tidak dikenal).
Hadist kedua disampaikan oleh Abu Hurairah: “Nabi berkata: Khitan adalah sunah bagi laki-laki dan suatu kehormatan bagi perempuan.” Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Baihaqi.
Imam al Syaukani (w. 1255 H) menyatakan hadits ini dha’if (lemah, tidak valid), karena Hajjaj bin Artha’ah, perawinya, seorang mudallas, yakni sering mengelirukan riwayat hadits. Para ahli hadits dan ahli fiqh mengatakan hadits yang disampaikan seorang mudallas tidak dapat diterima sama sekali (la tuqbal riwayatuhu bi Haal). Yakni tidak dapat dijadikan argument hukum.
Ibnu Mundzir menyampaikan kata pamungkas bahwa: "tidak ada satupun hadits yang bisa dijadikan rujukan untuk menjustifikasi khitan dan tidak ada satupun sanad hadits
nya yang bisa diikuti". Penilaian yang sama juga dikemukakan Sayed Sabiq : "Semua hadits yang berkaitan dengan khitan perempuan adalah lemah, tidak ada satupun yang sahih"
Dewasa ini pendapat Ibnu Mundzir dan Sayed Sabiq tersebut didukung dan disuarakan oleh sejumlah ulama terkemuka, antara lain Muhammad Sayed Thantawi, Grand Syekh Universitas Al Azhar, Kairo; Dr. Ali Gom’ah, Ketua Dewan Fatwa Mesir; Syeikh Yusuf al Qaradhawi, Ketua Ulama Islam Internasional dan lain-lain.
Oke, sampai disini teman, dapat saya katakan bahwa “kewajiban” melakukan khifadh atau “penyunatan” terhadap organ vital perempuan tidak ada dalam Islam, teks-teks yang bermunculan tak cukup kuat untuk memperkuat hukum khifadh sebagai suatu kewajiban.
Hukum, aturan , syariat, pada hakikatnya bukankah hukum itu ada untuk kepentingan dan menimbulkan manfaat bagi kita, bagaimana sebuah hukum itu dapat berdiri dan diakui bila tak mengindahkan aspek keadilan, fakta empiris dan suara korban yang dalam hal ini suara perempuan,,,haruskah hukum itu ditegakkan dan dipukul rata untuk semua kalangan? Saya rasa dalam hal ini mendengar suara perempuan adalah hal yang penting karena dalam hal ini mereka obyek dari praktik “hukum” ini.
Dalam telaah esainya, Husein Muhammad, mengungkapkan bahwa pernyataan Nabi ; “makarumah li al Nisa” (kehormatan bagi perempuan), juga merupakan bahasa budaya, bukan bahasa hukum (kembali saya ingatkan, ini akan bermuara lagi pada soal intepretasi text).
Ucapan Nabi Saw: ”fa innahu ahzha li al mar’ah wa ahabb li al ba’l”, memperlihatkan bahwa clitoris adalah organ yang membahagiakan perempuan dan menyenangkan laki-laki (suami). Identik dengan makna kalimat ini adalah ”fa innahu anwar li al wajh wa ahzha ’ind al Rajul”. Yakni bahwa clitoris adalah bagian tubuh yang membuat wajah perempuan berseri-seri, kalimat yang menunjukkan kenikmatan, dan menyenangkan laki-laki/suami. Dari sini Hussein Muhammad sendiri memiliki tafsiran bahwa Nabi sebenarnya sedang mengingatkan masyarakat bahwa clitoris perempuan adalah bagian tubuhnya yang amat berharga, karena ia memberikan kenikmatan seksual bagi kedua pihak, laki-laki (suami) dan perempuan (isteri). Seharusnya lanjut dia, bahasa persuasi Nabi yang indah tersebut dapat dipahami sebaik-baiknya, dengan membiarkan bagian tubuh perempuan yang menjadi sumber kenikmatan kedua jenis kelamin tersebut tumbuh apa adanya, tanpa dipotong atau digores oleh benda tajam apapun. Dengan begitu relasi laki-laki dan perempuan/suami-istri akan menjadi indah.
Tafsiran Husein Muhammad ini sekilas mengingatkan saya akan istilah Nasr Hamid Abu Zaid, yang menyatakan bahwa text atau ayat itu lebih merupakan media bahasa (al-syifrah al lughawiyyah) untuk mengkomunikasikan ide atau gagasan antara Tuhan dengan manusia atau realitas pada waktu itu, sedangkan bahasa sebagai “bungkus” gagasan tersebut penuh keterbatasan, sehingga alangkah baiknya menurut saya jika menafsirkan text tak hanya secara literal atau textualis-skriptualis, namun bisa dipakai pendekatan yang lebih konteksual, atau memakai metode tafsir tematik-holistik yang diperkenalkan oleh Amina Wadud yaitu metode pendekatan hermeneutik yang melihat secara kritis hubungan 3 aspek :
1) Dalam kontex apa ayat itu ditulis. Jika kaitannya dengan Al-Qur’an, maka dalam kontex apakah ayat tersebut diturunkan
2) Bagaimana kompisisi tata bahasa (ayat) tersebut, bagaimana pengungkapannya, apa yang dikatakannya
3) Bagaimana keselurahan text (ayat) tersebut.
Pembahasan mengenai tafsir text ini sendiri tidak bisa berakhir dengan keputusan bulat, mengingat saling mengklaim tafsiran mana yang paling benar itu ada dan memunculkan peluang untuk ditafsirkan lagi.
Begini, dalam dunia patriarki, wanita selalu dikondisikan dan diposisikan sebagai makhluk nomor dua, inferior dan pasif. Patriarki mengingikan, wanita ada di bawah kendali kuasanya hampir disegala hal. Dalam konteks khifadh ini tentu saja yang disinggung adalah masalah seksualitas. Klitoris adalah bagian dari reproduksi yang memiliki daya sensitifitas seksual tinggi yang melahirkan hasrat-hasrat libido yang kuat. Perempuan mampu mencapai pengalaman orgasme yang tak habis-habisnya”, melalui erotisisme klitoral. Karena itu pembiaran organ ini tetap ada atau menonjol, bisa ”membahayakan” laki-laki. Dan laki-laki dalam tradisi patriarkhis tak boleh dikalahkan perempuan, karena akan berakibat fatal bagi perempuan sendiri. Maka dalam pandangan tradisi patriarki adalah kehormatan bagi perempuan untuk memotong klitorisnya agar tidak bisa mengalahkan laki-laki/suami, meski harus mengalami pelukaan atas bagian tubuh yang penting itu sekaligus juga kedukaan psikologis. Jadi kata ”makrumah” merupakan bahasa persuasif dan akomodatif Nabi terhadap budaya yang sedang berlangsung itu, tetapi dalam waktu yang sama juga mereduksinya.
UNICEF mengungkapkan bahwa sesuai dari penelitian yang dilakukan oleh para petinggi Al-Azhar bahwa praktik FGM ini tidak memiliki dasar petunjuk yang kuat dalam agama Islam, yang berarti Islam pun sebenarnya tak menganjurkan dilakukannya FGM, praktik ini harus di larang. Sedangkan menurut Coptic Poep Shenouda, pemimpin Komunitas Kristen di Mesir mengemukakan bahwa beliau tidak menemukan bukti-bukti pendukung yang kuat baik dalam Al-Qur’an atau Injil, yang menganjurkan praktik sunat pada wanita.Tidak ada.
Disini saya rasa praktek FGM tak merunut pada satu atau beberapa agama tertentu, namun lebih mrupakan fenomena lintas budaya. Bahwa ini kemudian menjadi identik dengan Islam di Indonesia, simple saja menurut saya, karena mayoritas penduduk Indonesia memeluk Islam.
Oke, sist, apalah artinya dipotong klitoris, labia minora atau bahkan dijahit semua tuh alat vital kita dan menyisakan celah sedikit untuk pembuangan, toh dalam sejarahnya kita terbiasa dengan rasa sakit secara fisik…pengalaman datang bulan pertama kali, lalu masa-masa PMS, berhubungan suami istri pertama kali, hamil dan melahirkan,,,, di masa jahiliyah kita juga dikubur hidup2, pada awal abad ke-10 Masehi kaki saudari-saudari kita di China juga diikat sedemikian rupa hingga bentuknya kecil aneh demi menyengkan kaum pria di sana, pada abad ke 17 diperbudak di Amerika, so why it must stop? Why..? go on..
Daftar Pustaka
1) Muhammad, Hussein. Khitan Perempuan: Untuk Apa?. 2009.
2) Mustaqim, Abdul. Tafsir Feminis Versus Tafsir Patriarki. 2003. Sabda Perkasa: Yogyakarta.
3) Abdullah, Zulkarnaini. Mengapa Harus Perempuan?. 2003. Ar-Ruzz: Yogyakarta.
4) Kemuliaan Yang Membahayakan. 2006. Available from URL : http://www.detiknews.com/read/2006/09/28/095541/683998/159/kemuliaan-yang-
5) Eliminating Female Genital Mutilation - An interagency statement OHCHR, UNAIDS, UNDP, UNECA, UNESCO, UNFPA, UNHCR, UNICEF, UNIFEM, WHO. Department of Reproductive Health and Research (RHR), World Health Organization. 2008.
6) Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Dar al Fikr al Mu’ashir, Beirut, cet. IV, 2004, h. 2751-2752. Baca: Ibnu Qudamah, Al Mughni, Dar al Hadits, Kairo, 2004, Vol. I, h. 107. Al Nawawi, Syarh Majmu’,
7) Ibnu Hajar Al Asqallani, Fath al Bari, Dar al Fikr, Beirut, 1933, Juz XI, h. 531. Baca juga; Aun al Ma’bud, IV, h.123-124.
8) Yusuf al Qaradhawi, www. Qaradawi.net/
9) Zain al Din al Iraqi, Al Mughni ‘an Haml al Asfar, Dar al Ma’rifah, Beirut, 1982, Juz I, h. 142.
10) Prisoner of Ritual : Some contemporary Developments In The history of Female Genital Mutilation. 1991. Available from URL : http://www.fgmnetwork.org/Lightfoot-klein/prisonersofritual.htm
11) Female Circumcicion in Egypt. 2010. Available from URL : http://cultural-anthropology.suite101.com/article.cfm/female-circumcision-in-egypt
12) Sunat Pada Wanita, Perlukah?. 2010. Available from URL : http://www.kalbar.us/showthread.php?4289-Sunat-Pada-Wanita-Perlukah
13) Qardlawi, Yusuf dkk. Ketika Wanita Menggugat Islam. 2004. Teras: Jakarta.
Ulasan pendek Sejarah FGM. (FGM part III)
Sejarah
Afrika..adalah nama negara yang pertama kali muncul dalam benak kita, ketika kita mendengar nama tentang Female Genital Mutilation (FGM). Memang jumlah korban FGM terbanyak di Afrika, namun jgn salah je…praktik sunat perempuan ini juga sempat dan terjadi di Semenanjung Arab, Asia, Australia, Perancis, Inggris dan Amerika. (Lha to..londo-londo barang yo de melu nyunat...)
Setelah menulis tentang teknik menyunat cewek, kali ini saya mencoba menguraikan sedikit yang saya tahu tentang sejarah sunat cewek atau di sebut Female genital Mutilation (FGM)….
Seperti yang diungkapkan Davis seorang peneliti, mengamati bahwa sunat perempuan, bersama dengan hymenolatry, dulu hanya terjadi di daerah sangat terbatas di dunia , yaitu di kalangan orang-orang Semit, Islam dan negara-negara yang dominan Kristen (1976: 158). Dia menyatakan bahwa makin kuno sebuah kebiasaan atau keyakinan, semakin universal praktek-praktek tersebut ditemukan. Bandingkan dengan untuk sunat pada pria, couvades (sebuah ritual yang dilakukan oleh seorang suami ketika istrinya sedang melahirkan), dan mutilasi penis, yang dapat dengan mudah dirunut akar dan sejarahnya.
Ada berbagai laporan tentang sunat perempuan sepanjang zaman. Referensi sejarah pertama yang dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Herodotus, yang melaporkan keberadaannya di Mesir kuno pada abad ke-5 SM, dia berpendapat bahwa kebiasaan itu berasal dari Ethiopia atau Mesir, seperti yang sedang dilakukan oleh Etiopia serta Fenisia dan Het (Taba, AH, 1979). Sebuah papirus Yunani di British Museum yang diperkirakan berasal pada 163 SM menyebutkan tanggal khitanan dilakukan pada perempuan pada usia ketika mereka menerima mahar mereka. Sebagai tambahan informasi, pada sekitar 163 SM, Mesir dibawah kuasa Dinasti Ptolemaic yang berlangsung dari 305 SM – 30 SM. Pada sekitar 163 SM Mesir dipimpin keturunannya Ptolemy yaitu Ptolemy VI Philometor yang memimpin selama kurang lebih 35 tahun (2 periode) pada 181-164 SM dan 163-145 SM. Ptolemy adalah satu dari 7 bodyguard yang melayani Alexander Agung. Ia menjabat sebagai seorang jendral dan setelah kematian Alexander Agung pada 323 SM, ia menjadi Satrap (semacam gubernur) di Mesir, dan pada 305 ia mendeklarasikan dirinya sebagai Raja Ptolemy I, yang kemudian dikenal sebagai Soter (saviour atau penyelamat). Ya, si mantan bodyguardnya Alexander Agung ini dianggap sbg penyelamat oleh orang-orang Mesir yang memerdekaan Mesir. Ptolemy memimpin Mesir hingga 30 SM sampai akhirnya Roma datang dan menaklukan Mesir. Dari sini bisa diketahui kan bagaimana praktik FGM ini sampai ke Roma.
Bukti juga diperoleh dari anatomi mumi seorang gadis Mesir yang bagian alat vitalnya di sunat tipe I/sunna* dan tipe 3*. Praktik FGM ini mengarah pada teori dan keyakinan Mesir kuno, bahwa Firaun percaya adanya biseksualitas dalam tiap orang. Setiap pria memiliki sisi feminine dalam dirinya, dan sebaliknya. Penyunatan pada keduanya, dipercaya akan membawa keseimbangan jiwa dan kepribadian yang satu.
Ada juga berbagai laporan praktek infibulasi atau praktik pemotongan klitoris serta menjahit tepi-tepinya dengan menyisakan lubang untuk buang air dan haid oleh sejumlah wisatawan abad ke-18, yang mengamati kinerja pada gadis budak oleh pedagang budak di sepanjang Sungai Nil.
(Widstrand, 1965; Cloudsley, 1983) Niebuhr, seorang peneliti ilmiah asal Eropa yang meneliti di Saudi dan Mesir melaporkan adanya sunat wanita pada tahun 1767 di Mesir.
Sir Richard Burton, seorang penjelajah Inggris abad ke-19 yang mencatat tentang masalah seksualitas dikalangan suku primitif, bahwa alih2 mereka ingin meningkatkan hasrat wanita dengan memotong kiltoris dan labia minora (bibir dalam), para wanita yang disunat itu malah berkurang hasratnya..Burton pun mengungkapkan ” The moral effect of female circumcision is peculiar, while it diminishes the heat of passion, it increases licentiousness and breeds a debauchery of mind far worse (sic) than bodily unchastity." (1954: 108).
Berbagai penulis telah menunjukkan bahwa sunat perempuan juga dipraktekkan oleh Roma awal dan Arab. Pada beberapa kelompok itu tampaknya telah menjadi tanda perbedaan, selain tanda perbudakan dan penaklukan.
Dari asal kemungkinan di Mesir dan Lembah Nil, khitan perempuan dianggap telah disebarkan kepada suku-suku pesisir Laut Merah, bersama dengan pedagang Arab, dan dari sana ke timur Sudan. (Modawi, S., 1974)
Afrika dan mitos Klitoris
Pada masyarakat Afrika seperti yang dikemukakan oleh Lightfoot-Klein (1991), masyarakat tersebut melakukan praktik FGM lebih mendasarkan pada mitos daripada mempertimbangkan aspek kesehatan dan lainnya. Mereka menganggap klitoris sesuatu yang menjijikkan, kotor, berbau busuk, bahaya untuk bayi yang baru lahir, berbahaya untuk kesehatan suami.
Sedangkan di Sudan, lanjut Lightfoot-Klein memiliki kepercayaan jika klitoris tidak dipotong, maka klitoris dapat tumbuh sepanjang leher angsa dan menggantung di antara kedua kaki wanita, sehingga mampu menyaingi alat vital pria (1991).
Pada suku Kurya…wanita yang tak disunat tak dihormati dan tak dapat dinikahi.
Usaha yang dilakukan para misionaris di Afrika untuk menghentikan dan melarang parktik FGM ini tak berhasil, begitu pula usaha sama yang dilakuakn Pemerintah Kolonial Ingrris di Sudan dan Kenya…gagal.
Eropa
Heheheh, jangan di kira cuma di Asia_Afrika aja ya, Eropah, kamu juga kena..!!
Eropa sendiri memiliki sejarah tersendiri mengenai bagaimana cara mengendalikan seksualitas wanita, contohnya pada budak-budak di Roma kuno, dipasang cincin berulir pada bagian ‘labia minora’ mereka agar tidak hamil.
Berdasarkan data dari WHO yang dikemukakan oleh Elizabeth A. Estabroooks dalam esainya Female Genital Mutilation, pada kisaran tahun 1900-1939, FGM telah dipraktik kan di Australia kepada anak—anak TK sebagai metode untuk mencegah masturbasi. Praktik sunat menyunat ini bukan mengarah pada syariat agama Islam, namun termasuk dalam warisan ritual masyarakat Eropa-Australia.
Di Inggris, periode terbesar praktek FGM adalah pada kisaran tahun 1858-1866. Penyunatan klitoris ini berlanjut ke Amerika sekitar tahun 1925 hingga 1948. Penyunatan ini diyakini akan menghentikan tidakan masturbasi, menurunkan gangguan mental, menyembuhkan keluhan akan ketagihan hubungan intim pada wanita, juga dapat mencegah atau menghentikan nymphomania (maniak seks) yang akan di alami wanita jika tidak disunat.
Pada akhir tahun 1979, Dr. James E. Burt telah mempraktikkan FGM type “sunna” atau type I (eksisi dari permukaan klitoris, dengan atau tanpa eksisi sebagian atau seluruh klitoris). Ketika praktik sunat perempuan ini sempat berhenti beberapa tahun, lalu marak di lakukan kembali ketika datang banyak imigran di Amerika.
Indonesia
Di Indonesia, sejarah awal, dimana dan kapan sunat perempuan itu bermula, belum saya temukan, namun dapat saya terangkan bahwa, seperti yang di kemukanan oleh Dr. Hamim Ilyas, masyarakat Indonesia yang melakukan FGM adalah penganut mazhab Syafi’I, dan karena mazhab Syafi’I adalah mazhab yang paling dominan di Indonesia,maka menyebarlah dengan cepat sunat wanita tersebut dan menjadi identik dengan “syariat Islam” walapun dalam Al-qur’an tak ada anjuran ataupun perintah untuk melakukan FGM (2005). Di tinjau dari praktik sunat wanita diIndonesia, ini tak hanya disebarkan dari kepercayaan namun juga tradisi budaya dan etnis2 tertentu.
Dr. Hamim Ilyas mengungkapkan bahwa di kawasan tertentu di Indonesia, ada praktik sunat perempuan dengan menaruh jagung atau gabah di kemaluan anak gadis, kemudian seekor ayam jantan diarahkan untuk mematuknya (Jawa: nothol). Ini jelas budaya etnis, bukan ajaran Islam (2005).
infibulasi atau praktik pemotongan klitoris serta menjahit tepi-tepinya dengan menyisakan lubang untuk buang air dan haid tidak ditemukan di Indonesia. mengutip pernyataan Direktur Bina Kesehatan Anak, Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat dr. Rachmi Untoro, MPH di detikNews "Di Indonesia, sebenarnya tidak pernah ada kasus seperti yang ditemukan di Afrika. Banyak yang hanya ditempeli dengan kunyit. Tidak dipotong di salah satu bagian vaginanya atau bahkan merusak klitorisnya," (2006) . Meski tidak terjadi infibulasi, penelitian menemukan 75 persen kasus sunat perempuan telah terjadi pemotongan alat kelamin. Dan dari kasus itu banyak yang menyatakan telah menimbulkan rasa sakit.
Olayinka Koso-Thomas menyatakan bahwa "pemberantasan sunat perempuan harus ... melibatkan agama, dan transformasi sosial budaya masyarakat tertentu, bukan terbalik atau mencabut dasar ini dengan keputusan yang cepat, karena upaya legislatif dari masa lalu, yang bertujuan untuk melarang itu, tidak tidak berhasil. " (1987)
Bagi sista2 yang sudah terlanjur di sunat entah bagian klitorisnya atau labia minora (bibir dalam),,,jangan khawatir, karena kalian masih memiliki G-spot yang letaknya 3-5cm di dalam V.
Bagi yang merasa sunat cewek itu bener, yo wes gak popo…, saya juga gak bisa maksa pendapat saya.
Teman, teman saya sudahi tulisan saya mengenai sejarah FGM ini njeh, mudah-mudahan ada info tambahan dari teman-teman yang belum saya tulis di atas dan dapat menjadi masukan berarti bagi kita semua, karena semua itukan berawal dari ketidak tahuan. Maaf loh klo kurang lengkap ato gimana, orang kan judulnya juga "ulasan pendek.." hehehe
Saya suka menulis essay tentang kajian wanita, bukan berarti benci laki-laki, yang perlu kita perangi hanya sisa-sisa produk gagasan patriarki di masa lalu dan bahkan yang mungkin “akan” muncul. Laki-laki itu baik kok, suka menolong saya menstater motor pake kaki di jalan klo pas double stater saya mampet, temen laki2 juga yg ngerjain animasi komik saya (wlpn cuma beberapa detik, hehe), temen laki-laki saya jugalah yang berbaik hati mau ngasih CD Discotion Pill, dan temen-temen laki saya jugalah sering ngejek2 saya ”kecil..kecil..” L hehehe
Terima kasih…
Salam Berkarakter,
Lina jahat.
nb : next essay...saya coba akan mengulas ini kaitannya dengan religi dan kepercayaan,, sudah mendapat beberapa bahan... tinggal di campur.
Keterangan :
*) keterangan dapat di lihat di catatan sebelumnya ...pada "Salahkah Jika Wanita Berhasrat (FGM part II)
Dafatar Pustaka
1) Female GenitalCutting. 2010. Available from URL : http://en.wikipedia.org/wiki/Female_genital_cutting
2) Female Circumcicion in Egypt. 2010. Available from URL : http://cultural-anthropology.suite101.com/article.cfm/female-circumcision-in-egypt
3) Prisoner of Ritual : Some contemporary Developments In The history of Female Genital Mutilation. 1991. Available from URL : http://www.fgmnetwork.org/Lightfoot-klein/prisonersofritual.htm
4) Davis, E.G., (1976), The First Sex, Penguin Books, New York
5) Lightfoot-Klein, H., (1989) Prisoners of Ritual: An odyssey into Female Genital Circumcision in Africa, Haworth Press, 10 Alice St., Binghamton, New York 13904.
6) Burton, R. (1954) Love, War and Fancy: Notes to the Arabian Nights. Rimber, London.
7) Wallerstein, F., (1980), Circumcision: An American Health Fallacy, Springer Publ. Corp., New York.
8) Koso-Thomas, O., (1987), The Circumcision of Women. A Strategy for Eradication, Zed Books, London.
9) Modawi, S. (1974), The Impact of Social and Economic Changes in Female Circumcision, Sudan Medical Association Congress Series, No. 1, Sudan Medical Association, Khartoum.
10) Widstrand, C.C. (1965), Female Infibulation, Studia Ethnographica Upsaliensia, 20.
11) Wallerstein, F., (1980), Circumcision: An American Health Fallacy, Springer Publ. Corp., New York.
12) Eliminating Female Genital Mutilation - An interagency statement OHCHR, UNAIDS, UNDP, UNECA, UNESCO, UNFPA, UNHCR, UNICEF, UNIFEM, WHO. Department of Reproductive Health and Research (RHR), World Health Organization. 2008.
13) Skaine, R (2005). Female genital mutilation: Legal, cultural and medical issues. Jefferson, NC, USA: McFarland. ISBN 0-7864-2167-3.
14) Kemuliaan Yang Membahayakan. 2006. Available from URL : http://www.detiknews.com/read/2006/09/28/095541/683998/159/kemuliaan-yang-
15) Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Dar al Fikr al Mu’ashir, Beirut, cet. IV, 2004, h. 2751-2752. Baca: Ibnu Qudamah, Al Mughni, Dar al Hadits, Kairo, 2004, Vol. I, h. 107. Al Nawawi, Syarh Majmu’,
Salah kah jika Wanita Berhasrat? (FGM part II)
FGM part II
oke, di catatan kali ini emosi saya sudah agak sedikit berkurang , hehehe
di sini saya memberikan ulasan lagi secara rinci mengenai proses melakukan Female Genital Mutilation (FGM). Kita anatomi dulu bagian2 reproduksi wanita...
Organ reproduksi wanita terdiri dari pubis, labia mayora (bagian luar kemaluan wanita sebagai penutup, berbentuk seperti bibir), labia minora (penutup bagian dalam kemaluan wanita), dan klitoris.
Pubis adalah organ paling luar pada kelamin wanita maupun pria. Organ ini dibentuk oleh jaringan lemak yang meningkat jumlahnya pada waktu pubertas dan menurun pada waktu menopause pada seorang wanita.
Organ ini akan ditumbuhi oleh rambut-rambut yang memenuhi seluruh permukaan setelah pubertas.
Labia mayora adalah organ yang terletak di antara pubis dan anus (lubang pantat). Organ ini menyerupai bentuk bibir (labia=bibir) dan juga tertutup rambut pada bagian luarnya. Labia mayora lebih tebal jika dibandingkan dengan labia minora. Warnanya merah jambu.
Fungsinya secara tidak langsung melindungi saluran kemih dan organ-organ lain di dalamnya.
Labia minora adalah organ menyerupai bibir yang terletak di dalam labia mayora dan ukurannya lebih kecil. Warnanya juga merah jambu.
Klitoris. Organ ini memiliki sifat yang sama dengan penis pada pria. Organ ini sangat sensitif terutama terhadap rangsang taktil (sentuhan). Perbedaan klitoris dengan penis adalah penis digunakan juga untuk berkemih, sedangkan klitoris tidak.
WHO mengklasifikasikan bentuk FGM dalam 4 tipe, yaitu:
* Tipe I : Clitoridotomy. Yaitu eksisi dari permukaan (prepuce) klitoris, dengan atau tanpa eksisi sebagian atau seluruh klitoris. Dikenal juga dengan istilah sunna di Sudan.
* Tipe II : Clitoridectomy. Yaitu eksisi sebagian atau total dari labia minora, tipe yang lebih ekstensif dari tipe I. Banyak dilakukan di negara-negara bagian Afrika Sahara, Afrika Timur, Mesir, Sudan, dan Peninsula. Dikenal dengan istilah matwasat di Sudan.
* Tipe III : Infibulasi/Pharaonic Circumcision (Khitan Ala Firaun). Yaitu eksisi sebagian atau seluruh bagian genitalia eksterna dan penjahitan untuk menyempitkan mulut vulva. Penyempitan vulva dilakukan dengan hanya menyisakan lubang sebesar diameter pensil agar darah saat menstruasi dan urine tetap bisa keluar. Merupakan tipe terberat dari FGM.
* Tipe IV : tidak terklasifikasi, termasuk di sini adalah menusuk dengan jarum baik di permukaan saja ataupun sampai menembus, atau insisi klitoris dan labia; meregangkan (stretching) klitoris dan vagina; kauterisasi klitoris dan jaringan sekitarnya; menggores jaringan sekitar introitus vagina (angurya cuts) atau memotong vagina (gishiri cut), memasukkan benda korosif atau tumbuh-tumbuhan agar vagina mengeluarkan darah, menipis dan atau menyempit; serta berbagai macam tindakan yang sesuai dengan definisi FGM di atas.
Pelaksanaan sunat perempuan di Indonesia biasanya dilakukan pada usia 0-18 tahun, tergantung budaya setempat. Di Jawa dan Madura contohnya, sunat perempuan biasanya dilaksanakan pada saat usia sang anak dibawah 1 tahun dan sebagian kecil pada usia 7-9 tahun, menandai masa menjelang dewasa. Pelaksanaannya sendiri bervariasi mulai dari tenaga medis, dukun bayi, istri kyai (nyai), sampai tukang sunat baik dengan alat modern (gunting, scapula) ataupun alat-alat trasisional (bambu, jarum, kaca, kuku, pisau, sembilu) dengan atau tanpa anestesi. Hasil penelitian yang diadakan oleh Population Council di Indonesia menyebutkan bahwa 28% pelaksanaan FGM merupakan simbolik yang berarti tanpa pemotongan atau perlukaan sesungguhnya, tetapi 72% sisanya merupakan FGM sesungguhanya, baik eksisi maupun insisi.
Menurut WHO, praktik FGM tidak memberikan keuntungan apapun. Tindakan tersebut sangat berbahaya karena dapat merusak jaringan organ reproduksi wanita. Komplikasi yang terjadi dapat berupa rasa nyeri yang hebat, syok, pendarahan, tetanus, sepsis (infeksi karena bakteri), dan gangguan berkemih.
Dampak jangka panjang yang terjadi dapat berupa:
* Infeksi saluran kemih berulang
* Kista
* Infertilitas (mandul)
* Tindakan bedah selanjutnya harus dilakukan untuk membuka jahitan jika wanita tersebut ingin mempunyai anak (pada kasus tipe III) dan kemudian ditutup kembali setelah melahirkan
* Peningkatan risiko kematian kelahiran bayi.
* Pada suatu laporan kasus dari seorang wanita Sudan yang mengalami FGM tipe IV didapati bahwa ia mengalami keterlambatan masa pubertas, seperti payudara yang terlambat membesar dan rambut pubis yang tidak tumbuh sesuai dengan usianya.
Di Indonesia pada 31 mei sampai 1 juni 2005 lalu telah diadakan Lokakarya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan berkaitan dengan sunat. Pesertanya terdiri dari berbagai golongan, baik Menteri pemberdayaan Perempuan, Depkes, Depag, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Kesehatan Rakyat, Institusi Pendidikan, Organisasi Profesi, ormas perempuan dan agama, media massa, yayasan yang berkaitan dengan medis, dan institusi penelitian. Kesimpulan yang dihasilkan yaitu sunat perempuan tidak memiliki landas ilmiah dan lebih didasari pada tradisi dan budaya serta tidak ada landasan agama. Penelitian juga membuktikan bahwa sunat perempuan membawa dampak buruk dan ternyata sunat perempuan yang cenderung ke arah mutilasi bertentangan dengan hukum. Sayangnya sunat perempuan ternyata menjadi bahan komersialisasi oleh tenaga kesehatan. Karena itu penyebaran informasi terhadap masyarakat dan tindakan tegas oleh pemerintah terhadap tenaga medis yang terkait sangat diperlukan
Coba temen2 cari di hadis ato al qur'an.. ada gak sih...ayat yg mewajibkan kita berbuat demikian? klo baca catatan saya sebelumnya yg terkesan sarat emosi..., alasan yg paling sering di munculkan untuk mengkatarsi kita adalah agar kita gak liar dan demen "begituan", agar kita gak "nagih" begituan ma suami....
apa yg salah dengan hasrat sih? apa yg salah dengan birahi? emang cuma cowokkah yg boleh berhasrat dan ber-birahi? sedangkan kita gak, agar kita tetap dalam aturan "perempuan baik-baik"... oyeeaaahh?? hehehe, baik-baik yang kayak begimana tuh? hihihi, Klo gini banyak cewek di luar sana mendeklare diri mereka sebagai cewek matre n jadi penuntut ma cowok ato suaminya jangan salahin ceweknya dong! kan mereka bisa pake alesan standar "pacar/suami baik-baik" menurut mereka bagaimana... (yang ada kita bisa di hujat sbg wanita durjana...hehehehe)... (maaf bagi para pria, yg dikrtik di sini bukan jenis kelamin kalian secara umum, namun produk gagasan patriarki...)
Kalau di amat-amati lagi... kita sebagai wanita yang katanya klo gak di sunat nafsunya akan liar menggila, dan berpotensi punya PIL dimana2 bahkan jadi melacur... terus... yang selama ini yang suka poligami siapa? yang suka nikah siri sapa? yang suka memperkosa sapa? yang gak bisa nahan napsu nya sehingga melakukan pelecehan2 seksual di busway ato angkot lain sapa? di sini yang ga bisa ngontrol napsu dan punya napsu liar sebenrnya sapa sssiiiihhh????
Menurut saya birahi dan hasrat menjadi salah ketika si empunya hasrat menyalurkannya dengan orang dan di saat yg gak tepat (tidak ketepatan disini dapat dilihat dari sisi aturan agama dan UU yg berlaku di negara kita), tapi memilikinya bukanlah sebuah kesalahan , itu manusiawi....
Di artikel yg saya baca di gugel... para wanita yang telah di FGM juga sebagian ngerasa itu gak salah, itu bener buat syarat Islam... dan ngerasa untung di sunat coz klo gak ntar mereka jadi binal kayak pelacur....
Wowowowowowo........ klo orang mau melacur ya melacur aje..jgn di bawa2 sunat gak sunatnya dong!
Ininih seperti yang di omongin ma Kate Millet dalam bukunya Sexual Politic, bahwa penindasan terhadap wanita itu di bagi menjadi 8 bab, yaitu :
1. Ideologi
2. Biologi
3. Sosiologi
4. ekonomi dan pendidikan
5. Kekerasan
6. Kelas
7. Anthropologi: Mitos dan Agama
8. Psikologi
Aksi FGM ini tentu saja masuknya ke bagian "kekerasan" terhadap perempuan. Orang gak ditemuin faedahnya dalam kesehatan juga, di Islam juga bukan syariat, ngapain coba,,,
klo aksi penerimaan sebagian cewek dan menganggap FGM itu benar "menyelamat"kan mereka dari kebinalan... itu masuk ke ranah psikologi... saya bukanna mau nyalahin mereka yg berpendapat gitu..gak.. tapi bisa dilihat jejak2 pikiran dan ide patriarki tentang "wanita baik- baik" ini meresap betul dalam benak mereka. Keluarganya di FGM, tetangga di FGM, smua cewek di lingkungannya di FGM....secara psikologis meraka yg tumbuh dalam lingkungan seperti ini akan menganggap itu sebagai sebuah kebenaran.
Sampai kapan sih...kita hidup dalam bingkai kebenaran patriarki? setelah standar kecantikan... standar pengetahuan...standar ekonomi......lalu standar hasrat...
saya bukannya benci laki-laki tapi saya benci patriarki dan ide-ide gak rasional mereka yg gila dan menyengsarakan kita (secara kita sadari atau tidak). (bagi anak cowok yg baca esai ini, jgn tersinggung kecuali penganut paham patriarki, hehehe).
Oke sist, klo ada yg punya pendapat berbeda bisa beri koment, sapa tau ada yg nemuin ayat di al-qur'an yg mewajibkan kita di sunat ato manfaat di bidang kesehatan gitu..., lsg akan saya samperin ke TKP sist, cek ayat mana...
dan bagi yang sudah dan meyakini FGM itu sebagai sebuah hal yang benar, ya tidak papa, itu hak kita masing2 untuk berpendapat dan meyakini apa yg kita yakini benar, toh kebenaran itu kan juga subyektif....
saya hanya ingin memaparkan apa yang ada dalam benak saya mengenai FGM. thx
Salam Jahat selalu,
Lina Jahat.
Daftar Pustaka:
1) Kebijakan Departemen Kesehatan Terhadap Medikalisasi Sunat Perempuan.2007. Available from URL: http://www.pdpersi.co.id/?show=detai...tbl%3Dbiaswanita.
2) Female Genital Mutilation.2008. Available from URL: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs241/en.
3) Keith L. Moore and Arthur F. Dalley. 2006. Clinically Oriented Anatomy Fifth Edition.
4) Reliability of Self Reported Form of Female Genital Mutilation and WHO Classification:Cross Sectional Study.2006. Available from URL: http://www.bmj.com/cgi/reprint/333/7559/124.pdf.
5) Female Genital Mutilation of A Karyotypic Male Presenting As A Female With Delayed Puberty. 2006. http://www.biomedcentral.com/content...2-6874-6-6.pdf
6) Purwanti, Firliana. The 'O" Project. 2010. KPG : Jakarta.
7) Larangan Medikalisasi.2007. Available from URL : http://hackvermont.spaces.live.com/blog/cns!448D1B59A5937CF5!306.entry
8) Sunat Pada Wanita, Perlukah?. 2010. Available from URL : http://www.kalbar.us/showthread.php?4289-Sunat-Pada-Wanita-Perlukah
9) dan lain-lain.....
Minggu, 08 Agustus 2010
Ulasan pendek Sejarah Female Genital Mutilation
Sabtu pukul 15:59
Sejarah
Oleh: Lina Nurdiana
Afrika..adalah nama negara yang pertama kali muncul dalam benak kita, ketika kita mendengar nama tentang Female Genital Mutilation (FGM). Memang jumlah korban FGM terbanyak di Afrika, namun jgn salah je…praktik sunat perempuan ini juga sempat dan terjadi di Semenanjung Arab, Asia, Australia, Perancis, Inggris dan Amerika.
Setelah menulis tentang teknik menyunat cewek, kali ini saya mencoba menguraikan sedikit yang saya tahu tentang sejarah sunat cewek atau di sebut Female genital Mutilation (FGM)….
Seperti yang diungkapkan Davis seorang peneliti, mengamati bahwa sunat perempuan, bersama dengan hymenolatry, dulu hanya terjadi di daerah sangat terbatas di dunia , yaitu di kalangan orang-orang Semit, Islam dan negara-negara yang dominan Kristen (1976: 158). Dia menyatakan bahwa makin kuno sebuah kebiasaan atau keyakinan, semakin universal praktek-praktek tersebut ditemukan. Bandingkan dengan untuk sunat pada pria, couvades (sebuah ritual yang dilakukan oleh seorang suami ketika istrinya sedang melahirkan), dan mutilasi penis, yang dapat dengan mudah dirunut akar dan sejarahnya.
Ada berbagai laporan tentang sunat perempuan sepanjang zaman. Referensi sejarah pertama yang dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Herodotus, yang melaporkan keberadaannya di Mesir kuno pada abad ke-5 SM, dia berpendapat bahwa kebiasaan itu berasal dari Ethiopia atau Mesir, seperti yang sedang dilakukan oleh Etiopia serta Fenisia dan Het (Taba, AH, 1979). Sebuah papirus Yunani di British Museum yang diperkirakan berasal pada 163 SM menyebutkan tanggal khitanan dilakukan pada perempuan pada usia ketika mereka menerima mahar mereka. Sebagai tambahan informasi, pada sekitar 163 SM, Mesir dibawah kuasa Dinasti Ptolemaic yang berlangsung dari 305 SM – 30 SM. Pada sekitar 163 SM Mesir dipimpin keturunannya Ptolemy yaitu Ptolemy VI Philometor yang memimpin selama kurang lebih 35 tahun (2 periode) pada 181-164 SM dan 163-145 SM. Ptolemy adalah satu dari 7 bodyguard yang melayani Alexander Agung. Ia menjabat sebagai seorang jendral dan setelah kematian Alexander Agung pada 323 SM, ia menjadi Satrap (semacam gubernur) di Mesir, dan pada 305 ia mendeklarasikan dirinya sebagai Raja Ptolemy I, yang kemudian dikenal sebagai Soter (saviour atau penyelamat). Ya, si mantan bodyguardnya Alexander Agung ini dianggap sbg penyelamat oleh orang-orang Mesir yang memerdekaan Mesir. Ptolemy memimpin Mesir hingga 30 SM sampai akhirnya Roma datang dan menaklukan Mesir. Dari sini bisa diketahui kan bagaimana praktik FGM ini sampai ke Roma.
Bukti juga diperoleh dari anatomi mumi seorang gadis Mesir yang bagian alat vitalnya di sunat tipe I/sunna* dan tipe 3*. Praktik FGM ini mengarah pada teori dan keyakinan Mesir kuno, bahwa Firaun percaya adanya biseksualitas dalam tiap orang. Setiap pria memiliki sisi feminine dalam dirinya, dan sebaliknya. Penyunatan pada keduanya, dipercaya akan membawa keseimbangan jiwa dan kepribadian yang satu.
Ada juga berbagai laporan praktek infibulasi atau praktik pemotongan klitoris serta menjahit tepi-tepinya dengan menyisakan lubang untuk buang air dan haid oleh sejumlah wisatawan abad ke-18, yang mengamati kinerja pada gadis budak oleh pedagang budak di sepanjang Sungai Nil.
(Widstrand, 1965; Cloudsley, 1983) Niebuhr, seorang peneliti ilmiah asal Eropa yang meneliti di Saudi dan Mesir melaporkan adanya sunat wanita pada tahun 1767 di Mesir.
Sir Richard Burton, seorang penjelajah Inggris abad ke-19 yang mencatat tentang masalah seksualitas dikalangan suku primitif, bahwa alih2 mereka ingin meningkatkan hasrat wanita dengan memotong kiltoris dan labia minora (bibir dalam), para wanita yang disunat itu malah berkurang hasratnya..Burton pun mengungkapkan ” The moral effect of female circumcision is peculiar, while it diminishes the heat of passion, it increases licentiousness and breeds a debauchery of mind far worse (sic) than bodily unchastity." (1954: 108).
Berbagai penulis telah menunjukkan bahwa sunat perempuan juga dipraktekkan oleh Roma awal dan Arab. Pada beberapa kelompok itu tampaknya telah menjadi tanda perbedaan, selain tanda perbudakan dan penaklukan.
Dari asal kemungkinan di Mesir dan Lembah Nil, khitan perempuan dianggap telah disebarkan kepada suku-suku pesisir Laut Merah, bersama dengan pedagang Arab, dan dari sana ke timur Sudan. (Modawi, S., 1974)
Afrika dan mitos Klitoris
Pada masyarakat Afrika seperti yang dikemukakan oleh Lightfoot-Klein (1991), masyarakat tersebut melakukan praktik FGM lebih mendasarkan pada mitos daripada mempertimbangkan aspek kesehatan dan lainnya. Mereka menganggap klitoris sesuatu yang menjijikkan, kotor, berbau busuk, bahaya untuk bayi yang baru lahir, berbahaya untuk kesehatan suami.
Sedangkan di Sudan, lanjut Lightfoot-Klein memiliki kepercayaan jika klitoris tidak dipotong, maka klitoris dapat tumbuh sepanjang leher angsa dan menggantung di antara kedua kaki wanita, sehingga mampu menyaingi alat vital pria (1991).
Pada suku Kurya…wanita yang tak disunat tak dihormati dan tak dapat dinikahi.
Usaha yang dilakukan para misionaris di Afrika untuk menghentikan dan melarang parktik FGM ini tak berhasil, begitu pula usaha sama yang dilakuakn Pemerintah Kolonial Ingrris di Sudan dan Kenya…gagal.
Eropa
Heheheh, jangan di kira cuma di Asia_Afrika aja ya, Eropah, kamu juga kena..!!
Eropa sendiri memiliki sejarah tersendiri mengenai bagaimana cara mengendalikan seksualitas wanita, contohnya pada budak-budak di Roma kuno, dipasang cincin berulir pada bagian ‘labia minora’ mereka agar tidak hamil.
Berdasarkan data dari WHO yang dikemukakan oleh Elizabeth A. Estabroooks dalam esainya Female Genital Mutilation, pada kisaran tahun 1900-1939, FGM telah dipraktik kan di Australia kepada anak—anak TK sebagai metode untuk mencegah masturbasi. Praktik sunat menyunat ini bukan mengarah pada syariat agama Islam, namun termasuk dalam warisan ritual masyarakat Eropa-Australia.
Di Inggris, periode terbesar praktek FGM adalah pada kisaran tahun 1858-1866. Penyunatan klitoris ini berlanjut ke Amerika sekitar tahun 1925 hingga 1948. Penyunatan ini diyakini akan menghentikan tidakan masturbasi, menurunkan gangguan mental, menyembuhkan keluhan akan ketagihan hubungan intim pada wanita, juga dapat mencegah atau menghentikan nymphomania (maniak seks) yang akan di alami wanita jika tidak disunat.
Pada akhir tahun 1979, Dr. James E. Burt telah mempraktikkan FGM type “sunna” atau type I (eksisi dari permukaan klitoris, dengan atau tanpa eksisi sebagian atau seluruh klitoris). Ketika praktik sunat perempuan ini sempat berhenti beberapa tahun, lalu marak di lakukan kembali ketika datang banyak imigran di Amerika.
Indonesia
Di Indonesia, sejarah awal, dimana dan kapan sunat perempuan itu bermula, belum saya temukan, namun dapat saya terangkan bahwa, seperti yang di kemukanan oleh Dr. Hamim Ilyas, masyarakat Indonesia yang melakukan FGM adalah penganut mazhab Syafi’I, dan karena mazhab Syafi’I adalah mazhab yang paling dominan di Indonesia,maka menyebarlah dengan cepat sunat wanita tersebut dan menjadi identik dengan “syariat Islam” walapun dalam Al-qur’an tak ada anjuran ataupun perintah untuk melakukan FGM (2005). Di tinjau dari praktik sunat wanita diIndonesia, ini tak hanya disebarkan dari kepercayaan namun juga tradisi budaya dan etnis2 tertentu.
Dr. Hamim Ilyas mengungkapkan bahwa di kawasan tertentu di Indonesia, ada praktik sunat perempuan dengan menaruh jagung atau gabah di kemaluan anak gadis, kemudian seekor ayam jantan diarahkan untuk mematuknya (Jawa: nothol). Ini jelas budaya etnis, bukan ajaran Islam (2005).
infibulasi atau praktik pemotongan klitoris serta menjahit tepi-tepinya dengan menyisakan lubang untuk buang air dan haid tidak ditemukan di Indonesia. mengutip pernyataan Direktur Bina Kesehatan Anak, Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat dr. Rachmi Untoro, MPH di detikNews "Di Indonesia, sebenarnya tidak pernah ada kasus seperti yang ditemukan di Afrika. Banyak yang hanya ditempeli dengan kunyit. Tidak dipotong di salah satu bagian vaginanya atau bahkan merusak klitorisnya," (2006) . Meski tidak terjadi infibulasi, penelitian menemukan 75 persen kasus sunat perempuan telah terjadi pemotongan alat kelamin. Dan dari kasus itu banyak yang menyatakan telah menimbulkan rasa sakit.
Olayinka Koso-Thomas menyatakan bahwa "pemberantasan sunat perempuan harus ... melibatkan agama, dan transformasi sosial budaya masyarakat tertentu, bukan terbalik atau mencabut dasar ini dengan keputusan yang cepat, karena upaya legislatif dari masa lalu, yang bertujuan untuk melarang itu, tidak tidak berhasil. " (1987)
Bagi sista2 yang sudah terlanjur di sunat entah bagian klitorisnya atau labia minora (bibir dalam),,,jangan khawatir, karena kalian masih memiliki G-spot yang letaknya 3-5cm di dalam V.
Bagi yang merasa sunat cewek itu bener, yo wes gak popo…, saya juga gak bisa maksa pendapat saya.
Teman, teman saya sudahi tulisan saya mengenai sejarah FGM ini njeh, mudah-mudahan ada info tambahan dari teman-teman yang belum saya tulis di atas dan dapat menjadi masukan berarti bagi kita semua, karena semua itukan berawal dari ketidak tahuan. Maaf loh klo kurang lengkap ato gimana, orang kan judulnya juga "ulasan pendek.." hehehe
Saya suka menulis essay tentang kajian wanita, bukan berarti benci laki-laki, yang perlu kita perangi hanya sisa-sisa produk gagasan patriarki di masa lalu dan bahkan yang mungkin “akan” muncul. Laki-laki itu baik kok, suka menolong saya menstater motor pake kaki di jalan klo pas double stater saya mampet, temen laki2 juga yg ngerjain animasi komik saya (wlpn cuma beberapa detik, hehe), temen laki-laki saya jugalah yang berbaik hati mau ngasih CD Discotion Pill, dan temen-temen laki saya jugalah sering ngejek2 saya ”kecil..kecil..” L hehehe
Terima kasih…
Salam Berkarakter,
Lina jahat.
nb : next essay...saya coba akan mengulas ini kaitannya dengan religi dan kepercayaan,, sudah mendapat beberapa bahan... tinggal di campur.
Keterangan :
*) keterangan dapat di lihat di catatan sebelumnya ...pada "Salahkah Jika Wanita Berhasrat (FGM part II)
Dafatar Pustaka
1) Female GenitalCutting. 2010. Available from URL : http://en.wikipedia.org/wiki/Female_genital_cutting
2) Female Circumcicion in Egypt. 2010. Available from URL : http://cultural-anthropology.suite101.com/article.cfm/female-circumcision-in-egypt
3) Prisoner of Ritual : Some contemporary Developments In The history of Female Genital Mutilation. 1991. Available from URL : http://www.fgmnetwork.org/Lightfoot-klein/prisonersofritual.htm
4) Davis, E.G., (1976), The First Sex, Penguin Books, New York
5) Lightfoot-Klein, H., (1989) Prisoners of Ritual: An odyssey into Female Genital Circumcision in Africa, Haworth Press, 10 Alice St., Binghamton, New York 13904.
6) Burton, R. (1954) Love, War and Fancy: Notes to the Arabian Nights. Rimber, London.
7) Wallerstein, F., (1980), Circumcision: An American Health Fallacy, Springer Publ. Corp., New York.
8) Koso-Thomas, O., (1987), The Circumcision of Women. A Strategy for Eradication, Zed Books, London.
9) Modawi, S. (1974), The Impact of Social and Economic Changes in Female Circumcision, Sudan Medical Association Congress Series, No. 1, Sudan Medical Association, Khartoum.
10) Widstrand, C.C. (1965), Female Infibulation, Studia Ethnographica Upsaliensia, 20.
11) Wallerstein, F., (1980), Circumcision: An American Health Fallacy, Springer Publ. Corp., New York.
12) Eliminating Female Genital Mutilation - An interagency statement OHCHR, UNAIDS, UNDP, UNECA, UNESCO, UNFPA, UNHCR, UNICEF, UNIFEM, WHO. Department of Reproductive Health and Research (RHR), World Health Organization. 2008.
13) Skaine, R (2005). Female genital mutilation: Legal, cultural and medical issues. Jefferson, NC, USA: McFarland. ISBN 0-7864-2167-3.
14) Kemuliaan Yang Membahayakan. 2006. Available from URL : http://www.detiknews.com/read/2006/09/28/095541/683998/159/kemuliaan-yang-
15) Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Dar al Fikr al Mu’ashir, Beirut, cet. IV, 2004, h. 2751-2752. Baca: Ibnu Qudamah, Al Mughni, Dar al Hadits, Kairo, 2004, Vol. I, h. 107. Al Nawawi, Syarh Majmu’,